Langsung ke konten utama

Misteri September 65, Sejarah Yang Hilang.

Sejarah kotor yang kotor tentang hantu-hantu yang kotor, mungkin itu adalah kalimat pertama yang terlontar ketika membicarakan tentang apa yang terjadi pada September dan Oktober tahun 1965. Sejarah menuliskan pada 30 September 1965 telah terjadi pengkhianatan serta penculikan dan pembunuhan yang dilakukan oleh Partai Komunis Indonesia  terhadap enam Jendral dan satu Perwira TNI AD, lalu dikubur dalam sumur tua yang kemudian disebut dengan Lubang Buaya. PKI adalah (Partai Komunis Indonesia) dan merupakan partai komunis terbesar di seluruh dunia pada masa itu, anggotanya mencapai sekitar 3,5 juta orang ditambah 3 juta orang dari pergerakan pemudanya  dibawah kepemimpinan D.N. Aidit sebagai  ketua partainya. G30S/PKI (Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia) merupakan istilah yang digunakan oleh rezim Soeharto untuk menamakan percobaan pengambilalihan kekuasaan dengan cara paksa oleh resimen pengawal Presiden (Cakrabirawa) yang dipimpin oleh Letkol Untung Samsuri pada 30 september 1965 ( atau lebih tepatnya dini hari 1 Oktober 1965 ). Sesudah kejadian tersebut, 30 September diperingati sebagai Hari Peringatan Gerakan 30 September (G-30-S/PKI). Hari berikutnya, 1 Oktober ditetapkan sebagai Hari Kesaktian Pancasila.

Dilihat dari seluruh latar belakang sejarahnya , aksi G30S/PKI dapat dibagi kedalam tiga fase. Pertama, aksi subversif, untuk melakukan infiltrasi kedalam organisasi lain dan melemahkan kesetiaan rakyat kepada pemerintah, yang terjadi pada tahun 1954 hingga 1965. Kedua, upaya kudeta untuk menjatuhkan pemerintah, yang terjadi dari bulan Juli hingga Oktober 1965. Dan ketiga, pemberontakan bersenjata menentang pemerintah Indonesia yang sah, berlangsung dari 1966 hingga 1968. Kemudian Pemerintah melakukan aksi pembasmian G30S/PKI melalui cara-cara : pertama, secara fisik, yaitu dengan menghancurkan para pemimpinnya, struktur partai dan organisasi bersenjatanya. Kedua, secara konstitusional, yaitu dengan cara menyatakan Komunisme/Leninisme/Marxisme sebagai ajaran terlarang melalui TAP MPRS no. 25 tahun 1966. Dan ketiga, yaitu dengan menyelenggarakan pertemuan Raya Nasional tentang Kewaspadaan Nasional. Bahaya Laten Komunisme merupakan ungkapan masyarakat Indonesia terhadap Komunis yang pada saat itu dianggap berbahaya, pembunuh, dan mengancam stabilitas negara.  Istilah ini mengacu pada pembunuhan enam perwira tinggi Angkatan Darat oleh pasukan pengawal presiden Cakrabirawa pada tanggal 30 September 1965. Pembunuhan terhadap keenam perwira tinggi itu merupakan jawaban terhadap desas-desus yang ada bahwa para perwira tersebut, sebagai anggota dari apa yang dikenal dengan sebutan Dewan Jenderal, berencana menggulingkan Presiden Soekarno, yang saat itu kondisi kesehatannya dilaporkan tengah mengalami penurunan serius. Angkatan Darat (AD) menuduh Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai dalang pembunuhan tersebut. AD kemudian melancarkan kampanye pembasmian PKI dan berbagai organisasi massa (ormas) di bawah naungannya.

Pembantaian massal.

Pada 30 September 1965 malam hingga 1 Oktober 1965 dini hari, sejumlah petinggi militer diculik dan dibunuh, dalam sebuah usaha kudeta. Peristiwa itu dikenal dengan nama Gerakan 30 September/PKI atau G30S/PKI. Nama sumur Lubang Buaya di Cipayung, Jakarta Timur kemudian dikenal masyarakat luas. Bagaimana tidak, enam jenazah jenderal dan satu perwira TNI AD dikubur dalam sebuah sumur tua nan sempit, berdiameter 75 centimeter dengan kedalaman 12 meter. Jenazah tujuh TNI yang diberi gelar Pahlawan Revolusi itu, baru ditemukan pada 3 Oktober 1965.

Berikut 7 pahlawan revolusi tersebut yang dikubur di Lubang Buaya.

Jendral TNI Ahmad Yani (Menteri/Panglima Angkatan Darat/Kepala Staf Komando Operasi Tertinggi)

Letjen TNI Raden Suprapto (Deputi II Menteri/Panglima AD bidang Administrasi)

Letjen TNI Mas Tirtodarmo Haryono (Deputi III Menteri/Panglima AD bidang Perencanaan dan Pembinaan)

Letjen TNI Siswondo Parman (Asisten I Menteri/Panglima AD bidang Intelijen)

Mayjen TNI Donald Isaac Panjaitan (Asisten IV Menteri/Panglima AD bidang Logistik)

Mayjen TNI Sutoyo Siswomiharjo (Inspektur Kehakiman/Oditur Jendral AD)

Kapten Pierre Tendean ( Ajudan Jendral TNI Abdul Harris Nasution. Kala itu, anggota Gerakan 30 September mengira Pierre adalah A.H.  Nasution. Oleh karena itu, ia dibawa ke Lubang Buaya)

Sedikit banyaknya uraian diatas adalah sejarah yang dituliskan oleh pemerintahan Orde Baru. Kita juga dapat melihat sejarah ini dalam film“ Pengkhianatan G30S/PKI”. Film propaganda tersebut diproduksi tahun 1984 oleh PPFN (Perum Produksi Film Negara). Yang pada akhirnya Arifin C. Noer sebagai sutradara dalam film tersebut mengatakan kekecewaannya setelah melihat hasil akhir dari keseluruhan film tersebut yang hanya mengultuskan pribadi Soeharto sebagai tokoh penyelamat bangsa ini tanpa melihat sisi sebenarnya dimana terjadinya pembantaian massal terhadap mereka yang diduga sebagai bagian dari Komunisme tersebut ditangkap dan dipenjara sebagai tapol (tahanan politik) tanpa persidangan.

Beberapa sejarawan dan peneliti baik dari Indonesia maupun luar negeri mengatakan bahwa mereka yang dituduh dan diduga terlibat dalam Gerakan 30 September ini ditangkap dan dijadikan tapol tanpa persidangan. Ini dapat dilihat melalui film dokumenter yang bejudul “The Act of Killing” atau Jagal pada tahun 2012, Para wartawan menduga-duga bahwa angka korban mati yang diumumkan Soekarno pada Januari 1966 yaitu 87.000, sangat jauh dari angka sebenarnya. Seth King dari New York Times pada Mei 1966 mengajukan angka perkiraan moderat, yaitu sebanyak 300.000 korban tewas. Seymour Topping, rekan Seth King dari media yang sama melakukan penyelidikan beberapa bulan kemudian dan menyimpulkan bahwa jumlah korban mati seluruhnya bahkan dapat lebih dari setengah juta orang. Ketiga koresponden asing itu memberitakan bahwa personil militer dan sipil antikomunis terlibat dalam pembunuhan dan sering kali mereka melakukannya dengan cara-cara sistematik dan rahasia. King mencatat bahwa orang-orang di Jakarta tidak menyaksikan kekerasan apapun. Mereka hanya mengetahui bahwa tentara pada malam hari melakukan penggerebekan rumah-rumah, menggiring mereka yang dicurigai sebagai simpatisan PKI ke atas truk dan membawa mereka keluar kota sebelum fajar. Topping juga menyimpulkan bahwa militer melakukan pembunuhan secara kilat terhadap rakyat yang diduga simpatisan PKI di Jawa Tengah tetapi ia mengatakan pola kekerasannya berbeda dengan yang terjadi di Jawa Timur dan Bali. Di daerah lain militer biasanya menghasut penduduk sipil untuk melakukan pembunuhan, ketimbang personil mereka sendiri yang melakukan tugas kotor itu. Mereka membentuk jaringannya diberbagai kota/kabupaten terutama didaerah Jawa Timur dan Jawa Tengah dimana ratusan ribu anggota dan simpatisan atau organisasi-organisasi pendukung PKI dibunuh oleh militer maupun oleh para masyarakat yang berafiliasi dengan organisasi politik yang bertentangan dengan PKI.

Bulletin Tapol (No. 80, April 1987) mencatat ada sebanyak 1.375.320 orang yang dikategorikan ke dalam Kelompok C (kelompok yang “diindikasikan memiliki hubungan dengan PKI”) ditahan selama kurang dari 10 tahun; sebanyak 34.587 orang yang dikategorikan ke dalam Kelompok B (mereka yang memiliki indikasi punya hubungan dengan “Gerakan 30 September”) ditahan selama lebih dari sepuluh tahun; dan 426 orang yang dikategorikan ke dalam Kelompok A (mereka yang “terlibat dalam Gerakan 30 September”) diadili, sebagian dijatuhi hukuman mati dan sisanya dipenjarakan seumur hidup. Para tahanan politik ini sebagian merupakan personil Cakrabirawa, mereka dituduh terlibat dalam kudeta 30 September 1965 itu. Mereka baru dituntut di pengadilan setelah terlebih dahulu ditahan lebih dari sepuluh tahun, dan mereka di hukum seumur hidup.

Sejarah juga mencatat  secara kasar diperkirakan 1400 orang Indonesia hidup dalam pengasingan politik. Kira-kira 400 orang hidup dalam pengasingan di Nedherland, 500 hidup di Jerman, 200 hidup di Inggris, 50 di Swedia, 100 hidup di Prancis, 50 di Polandia, 20 di Italia, 20 di Rumania, dan 50 di Rusia. Kebanyakan dari mereka adalah diplomat, mahasiswa, atau koresponden yang bertugas di negara- negara blok Sosialis seperti Kuba, China, Uni Soviet, dan negara-negara Eropa Timur, ketika “peristiwa 1965” terjadi. Karena mereka menolak mengakui “peristiwa 1965” sebagai suatu upaya kudeta kaum komunis, kewarganegaraan Indonesia mereka dicabut oleh Soeharto, dan mereka akan dituntut atau dipenjara jika kembali ke Indonesia, ini juga dikisahkan dalam film “Letter From Prague” pada tahun 2016, dimana film tersebut menceritakan bagaimana nasib para pemuda terbaik bangsa yang dikirimkan oleh Soekarno untuk melanjutkan pendidikan diluar negeri dicabut kewarganegaraannya dan tak bisa kembali ke Indonesia untuk bertemu keluarganya, mereka menghabiskan sisia hidup mereka hingga kini dinegara dimana mereka mengenyam pendidikan. Soesilo Toer, adik kandung sastrawan terkemuka Pramoedya Ananta Toer, mengalami hal ini ketika ia kembali dari Moskow pada 1971 setelah menyelesaikan studi S3 nya dalam bidang ekonomi politik, ia dijemput dan ditangkap paksa oleh aparat militer ketika baru saja menginjakkan kakinya dibandara Jakarta, setelah Pramoedya terlebih dahuliu dijebloskan kedalam kamp konsentrat (penjara politik) di Pulau Buru.

Dalam kata-kata Bertrand Russell, “Dalam empat bulan, orang yang mati di Indonesia sebanyak lima kali lebih besar dari yang mati di perang Vietnam yang terjadi dalam kurun waktu dua belas tahun”. Ungkapan tersebut merupakan suatu kesaksian humanistik atas skala tragedi kemanusiaan di Indonesia kala itu. Dapat dikatakan G30S/PKI merupakan tragedi mematikan abad 20 setelah perang dunia kedua. Para pengamat Indonesia yang berpengalaman menganggap cerita-cerita yang disebarkan tentara hanya sebagai cerita yang dibuat-buat “ tidak ada bukti kuat bahwa orang-orang Komunis mempunyai perbekalan senjata begitu besar untuk merencanakan pemberontakan massa di seluruh tanah air untuk merebut kekuasaan dalam waktu dekat”. Robert F. Kennedy adik dari John F. Kennedy presiden Amerika Serikat pada masa itu mengucapkan pidatonya di New York City pada Januari 1966 “ Kita telah bersuara lantang terhadap pembantaian tak manusiawi yang dilakukan oleh kaum Nazi dan Komunis. Tapi apakah kita akan bersuara lantang pula terhadap pembantaian keji di Indonesia, yang lebih dari ratusan orang yang dituduh komunis bukanlah pelaku, tetapi korban. “

Pada November 2015 Internatinal People Tribunal 1965 IPT65 menggelar sidang di Den Haag, Belanda, terkait peristiwa pembantaian massal yang terjadi pasca 1 Oktober 1965. Dimana, aparat militer dibawah komando Jenderal Soeharto dengan bantuan organsasi masyarakat melakukan penangkapan yang sewenang-wenang terhadap anggota Partai Komunis Indonesia maupun simpatisannya. Penangkapan itu berakhir dengan penahanan selama lebih dari satu dekade hingga penghilangan nyawa. Maka kemudian terselenggara persidangan IPT pada 10 hingga 13 November di Den Haag, Belanda. Kurang lebih sebanyak 100 Relawan membantu, termasuk peneliti dari segala penjuru dunia, tim media di Jakarta, dan mahasiswa Indonesia dari berbagai negara di Eropa. Sidang tersebut dilaksanakan di Belanda dikarenakan belum adanya upaya pemerintah untuk mengungkap kejadian tersebut ditambah lagi ketidak mungkinan hal mengenai kejadian 1965 dibicarakan di Indonesia yang mana sebagian masyarakatnya telah termakan propaganda sehingga menganggap tabu untuk membicarakan hal yang berkaitan dengan PKI. Hasil keputusan sidang Pengadilan IPT di Den Haag menyatakan “Indonesia bertanggung jawab atas 10 tindakan kejahatan HAM berat yang terjadi pada 1965-1966. Sepuluh kejahatan HAM berat itu adalah pembunuhan massal, pemusnahan, pemenjaraan, perbudakaan, penyiksaan, penghilangan paksa, kekerasan seksual, pengasingan, propaganda palsu, keterlibatan negara lain hingga genosida” ujar ketua Hakim persidangan Zak Yacoob. Meski demikian, hasil keputusan IPT ini tidak memiliki dampak hukum maupun pidana, sifatnya lebih political shamming secara Internasional saja. Dengan cara ini diharapkan petinggi dunia akan menekan pemerintah Indonesia untuk segera menuntaskan permasalahan HAM yang sudah kurang lebih 50 tahun merundung Indonesia.

Namun , setelah putusan sidang tersebut keluar, Pemerintah Indonesia melalui Menkopolhukan Luhut Binsar Panjaitan menolak hasil putusan IPT 1965 “apa urusan dia ? Indonesia punya sistem hukum sendiri. Saya tidak ingin oranglain dikte bangsa ini” ujarnya. Sedangkan, persidangan tersebut digelar karena pemerintah dirasa gelap mata untuk menyelesaikan kejadian pelanggaran HAM tahun 1965, bahkan kasus pelanggaran HAM lainnya seperti kasus penembakan misterius (petrus) 1982-1985, Tragedi Semanggi dan kerusuhan Mei 1998, kasus terbunuhnya aktivis HAM Munir Said Thalib 2004, tragedy Wamena berdarah 2003, hingga yang terbaru kasus penyidik KPK Novel Baswedan.

 Banyak versi mengenai sejarah masa lalu Indonesia, ada beberapa yang diubah maupun dihilangkan, sudah saatnya kita sebagai bangsa Indonesia untuk mengetahui sejarah yang sebenarnya, karena sejatinya sejarah masa lalu merupakan tolak ukur untuk menghadapi masa depan. Mari kita merawat ingatan kita untuk menolak lupa terhadap misteri Bangsa yang belum terungkap.

“Sejarah ditulis oleh para pemenang” Winston Churchill.


kiriman : Abd Rahmad Dharma (Mahasiswa STIE Pembangunan Tanjungpinang)

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buletin Edisi IX : Rasa & Karya LPM Jurnalistik STIE Pembangunan Tanjungpinang 2022

 

Intervensi Kemanusiaan Bukan Tindakan Mencampuri Urusan Negara Lain

  Intervensi Kemanusiaan Bukan Tindakan Mencampuri Urusan Negara Lain Sumber: Internet  Ketika sebuah negara terlibat dalam kasus penindasan hak asasi manusia (HAM), maka sudah sewajarnya bagi masyarakat internasional untuk turun tangan menyelesaikannya. Namun tindakan mendukung kemanusiaan tersebut tidak selamanya dianggap sebagai sesuatu hal yang positif. Beberapa justru menganggapnya sebagai alat politik untuk mencampuri urusan negara lain.  Wakil presiden China, Han Zheng menyebutkan dalam pidato di sidang majelis umum PBB pada Kamis (21/9) bahwa dunia harus berhenti dan menolak isu hak asasi manusia (HAM) menjadi alat politik untuk mencampuri urusan negara lain. Sentimen tersebut bukanlah sesuatu yang tidak berdasar. Dalam perjanjian Westphalia tahun 1648 telah memuat prinsip hukum internasional, yaitu hukum untuk tidak mencampuri urusan negara lain.  Setiap negara memiliki kedaulatan atas wilayah dan urusan dalam negerinya. Perjanjian Westphalia telah melahirka...

STIE CUP III Siap Meramaikan Milad XXIV STIE Pembangunan Tanjungpinang

Tanjungpinang, LPM Jurnalistik - Unit Kegiatan Mahasiswa Olahraga (UKMor) STIE Pembangunan menggelar STIE Cup III cabang olahraga futsal. Pertandingan tersebut di gelar pada 08/01/2022 hingga 09/01/2022 di lapangan futsal planet (wong solo) yang di ikuti oleh perguruan tinggi se- Kepri dan SMA/MK se- Tanjungpinang dan Bintan. Pertandingan tersebut memperebutkan hadiah total jutaan rupiah, Trofi bergilir dan sertifikat serta pemain terbaik dan top skor.  Kegiatan tersebut juga untuk memeriahkan Milad XXIV STIE Pembangunan Tanjungpinang dan merupakan pertandingan rutin tiap tahunnya yang di adakan oleh UKMor STIE Pembangunan Tanjungpinang. "kegiatan tersebut merupakan kegiatan tahunan yang insyaallah akan di laksanakan tiap tahunnya oleh UKM olahraga untuk memeriahkan Milad STIE," ujar Ketua Pelaksana M. Fajar Jailani.  Charly Marlinda SE Ak MAk CA selaku ketua STIE Pembangunan Tanjungpinang mengharapkan pertandingan di jalankan dengan sportif dan tetap mematuhi protokol keseh...